Di saat pemerintah pusat menggencarkan semangat efisiensi anggaran untuk menstabilkan keuangan negara, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) justru menempuh jalur berlawanan. Bukannya menunjukkan empati pada kondisi rakyat Aceh yang masih terjerat kemiskinan, DPRA malah mengalokasikan dana rakyat untuk belanja mewah dan renovasi fasilitas rumah dinas.
Mobil Dinas dan Renovasi Rumah: Kemewahan di Atas Derita
Melalui laman resmi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP, publik kini dapat melihat secara gamblang bagaimana dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) digunakan untuk pengadaan mobil dinas baru senilai Rp8,7 miliar dan renovasi rumah anggota dewan sebesar Rp48 miliar lebih.
Rinciannya mengejutkan. Satu unit mobil untuk Ketua DPRA dianggarkan sebesar Rp3,3 miliar, sedangkan tiga mobil untuk para Wakil Ketua menghabiskan Rp5,4 miliar. Lebih dari itu, biaya renovasi rumah anggota dewan mencapai angka fantastis: Rp47,43 miliar, ditambah Rp1,53 miliar untuk biaya pengawasan.
Pertanyaannya: Siapa yang sesungguhnya dilayani oleh anggaran ini? Apakah anggota dewan, atau rakyat yang memilih mereka?
Kemiskinan Masih Membayangi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh per 29 Agustus 2024, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 804,53 ribu jiwa. Di tengah angka kemiskinan yang mengkhawatirkan ini, pengeluaran mewah oleh lembaga legislatif daerah seperti DPRA adalah tamparan keras bagi nurani publik.
Lebih miris lagi, Aceh baru saja menerima pemotongan anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp317 miliar. Pemotongan ini berdampak langsung pada sejumlah program pembangunan dan kesejahteraan yang seharusnya menjadi prioritas utama. Namun ironinya, anggaran besar justru digelontorkan untuk kepentingan yang tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Kemewahan yang Kontra dengan Amanah Publik
Sikap DPRA sangat bertolak belakang dengan semangat efisiensi yang ditekankan pemerintah pusat. Di saat rakyat Aceh masih bergelut dengan akses pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan infrastruktur yang memadai, para wakil rakyat justru tenggelam dalam kenyamanan pribadi.
Renovasi rumah dan pembelian mobil dinas bukanlah kebutuhan mendesak. Ini adalah bentuk pengeluaran yang tidak hanya tidak berempati, tetapi juga memperlihatkan minimnya sensitivitas sosial terhadap realitas di lapangan.
Saatnya Prioritas Dikaji Ulang
Kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada rakyat harus segera dikoreksi. Dana publik bukanlah milik pribadi. DPRA dan Pemerintah Aceh seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial, bukan malah menjadi simbol kemewahan yang mencolok di tengah penderitaan.
Jika pola pemborosan ini terus dibiarkan, jangan pernah berharap Aceh akan bangkit dari garis kemiskinan. Yang dibutuhkan rakyat adalah akses yang merata pada kebutuhan dasar, bukan mobil dinas mewah atau rumah mewah yang hanya dinikmati segelintir elite.
Waktunya Bangkit, Bukan Berfoya
Sudah saatnya DPRA melakukan refleksi mendalam atas peran dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Anggaran harus berpihak pada kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. Setiap rupiah yang dibelanjakan harus mampu menjawab kebutuhan mendesak masyarakat.
Rakyat Aceh tidak butuh retorika, mereka butuh tindakan nyata. Dan itu semua hanya bisa dimulai dengan satu hal: kemauan politik untuk mendahulukan kepentingan rakyat di atas segala-galanya!!!